𝘖𝘭𝘦𝘩: 𝘈𝘫𝘢𝘯𝘨 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭 𝘑𝘢𝘭𝘪𝘭
Di tengah denyut pembangunan nasional yang semakin menyeragamkan irama hidup anak-anak bangsa, sebuah warisan luhur bernama “Ngaji Subuh” makin hari makin terdesak, terjepit di antara tirani waktu dan logika linear sekolah formal. Tak hanya oleh waktu yang sempit, tapi juga oleh sistem yang seolah tak punya ruang untuk mengakui eksistensinya sebagai salah satu soko guru peradaban Nusantara.
Padahal, jauh sebelum Indonesia mengenal apa itu “Departemen Pendidikan” atau “kurikulum nasional”, lembaga yang bernama pondok pesantren telah menjadi benteng terakhir penjaga ilmu, iman, dan akhlak. Bahkan, kala penjajah memaksakan sistem tanam paksa dan kapitalisme birokrasi, pesantren tetap berdiri tanpa sokongan anggaran negara. Para kiai dan santri memberi lebih dari yang diminta: mereka berjuang, berkorban harta, bahkan nyawa. Mereka tidak bertanya: “Apa imbalan dari negara?” Tapi kini, setelah kemerdekaan menjadi milik semua, mereka justru dipertanyakan: “Apa sumbangan pesantren untuk pembangunan?”
Inilah ironi yang kita hadapi hari ini. Dalam ruang-ruang kelas modern yang didesain steril dari spiritualitas, seorang santri harus memilih antara absen di kelas jam 06.30 atau menuntaskan wirid dan doa setelah shalat Subuh. Di banyak sekolah negeri, keterlambatan datang pagi lebih dianggap sebagai pelanggaran daripada keterlambatan menunaikan shalat Subuh. Lalu kita bertanya-tanya kenapa anak-anak tak lagi memiliki kepekaan batin, kehilangan makna hidup, dan tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara teknis, namun kerontang secara spiritual?
Sungguh, Ngaji Subuh bukanlah sekadar aktivitas ibadah, tapi ia adalah institusi pendidikan kultural-spiritual yang telah melahirkan tokoh-tokoh agung bangsa: dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Mustafa, KH Ruhiat hingga KH Wahid Hasyim. Mereka bangun sebelum fajar, menekuni kitab-kitab kuning dengan syarah dan hasyiah yang rumit, dan tetap bisa menjawab tantangan zamannya dengan pemikiran cemerlang. Bandingkan dengan anak zaman sekarang yang bangun kesiangan, lalu buru-buru ke sekolah hanya demi nilai, ijazah, dan rangking.
Sistem pendidikan nasional yang tak menyisakan ruang fleksibilitas untuk praktik ibadah seperti Ngaji Subuh secara tak sadar telah menormalisasi sekularisasi ritme hidup pelajar. Pendidikan yang mengabdi pada “efisiensi waktu” justru melahirkan generasi yang gagal mengenali waktu Tuhan. Apa gunanya memulai pelajaran jam 06.30 kalau mata mereka masih bengkak, hati mereka masih gelap, dan pikirannya masih belum tersambung dengan Ilahi?
Kita patut bertanya: kenapa pendidikan agama selalu harus mengalah dalam soal waktu? Kenapa pelajaran matematika dan fisika bisa dimajukan, sementara tafaqquh fid-din dipaksa berdesakan di sela-sela kantuk dan tekanan jadwal? Tidakkah ini bentuk kolonialisme gaya baru, ketika warisan keilmuan pesantren harus menyesuaikan diri pada sistem pendidikan Barat yang kita adopsi mentah-mentah?
Lebih menyakitkan lagi, pemerintah seolah-olah mencurigai pesantren. Standarisasi, akreditasi, sertifikasi, dan entah berapa banyak instrumen “pengawasan” diluncurkan. Seolah-olah pesantren adalah “anomalinya” pendidikan, bukan bagian otentik darinya. Padahal, pesantrenlah yang lebih dahulu menyelenggarakan pendidikan komprehensif—spiritual, sosial, bahkan ekonomi—sebelum negara ini punya nomenklatur formal tentang pendidikan karakter.
Pemerintah bicara tentang revolusi mental, namun lupa bahwa Ngaji Subuh telah merevolusi mental umat sejak ratusan tahun yang lalu—tanpa dana BOS, tanpa beban administrasi, tanpa kebisingan program-program birokrasi. Justru dalam kesederhanaan itu, tumbuh jiwa-jiwa yang tangguh, sabar, ikhlas, dan cinta ilmu.
Kini, santri dipaksa menjadi “anak sekolah”. Ia harus hadir pukul 06.30, setelah malamnya mengkhatamkan al-Minhaj, menyalin Fathul Mu’in, dan menyelesaikan tahajjud. Ia dimarahi guru sekolah karena mengantuk, dituding tidak disiplin, dan dianggap tak mampu bersaing. Sistem yang dibangun tak mengenal keringatnya di malam hari, hanya mengenal angka dan grafik nilai. Ngaji Subuh dianggap gangguan, bukan investasi karakter.
Ini bukan sekadar kegagalan birokrasi pendidikan, melainkan pengkhianatan terhadap sejarah. Pondok pesantren telah lebih dulu mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Maka, alih-alih terus menjadi korban kebijakan yang tak paham ruh pendidikan pesantren, seharusnya sistem pendidikan nasional yang menyesuaikan diri. Jika benar negara menghargai jasa ulama dan pesantren, mengapa justru Ngaji Subuh yang selalu dikorbankan atas nama “kedisiplinan sekolah”?
Lantas, setelah semua pengorbanan pesantren dalam sejarah—dari merebut kemerdekaan hingga menjaga moral bangsa—mengapa justru kini mereka yang harus menyesuaikan?
Kenapa ngaji subuh yang dulu melahirkan pahlawan, kini justru dimusuhi kebijakan? Apakah penguasa hari ini sedang lupa sejarah atau sengaja hendak menghapusnya?






